BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Sejarah Analgetik
Obat analgetik adalah obat penghilang nyeri atau organic medicine yang banyak digunakan untuk mengatasi sakit
kepala, demam, dan nyeri ringan. Obat-obat ini mudah diperoleh tanpa resep.
Jika digunakan dalam waktu singkat, obat-obat ini umumnya aman dan efektif.
Tapi dengan banyaknya macam analgetik yang tersedia di pasaran, harus dipilih analgetik
yang optimal untuk pasien dalam keadaan tertentu. Pemilihan tersebut harus
mempertimbangkan keadaan pasien, penyakit dan organic
medicine lain yang diminum dalam waktu bersamaan, keamanan,
efisiensi, harga, dan tak ketinggalan respons tubuh pasien terhadap terapi organic food.
Sebelum memilih analgetik yang tepat, sebaiknya diketahui dulu apa yang disebut
nyeri dan macam nyeri yang dapat disembuhkan dengan analgetika.
Nyeri terjadi jika organ tubuh, otot, atau kulit terluka oleh benturan,
penyakit, keram, atau bengkak. Rangsangan penimbul nyeri umumnya punya
kemampuan menyebabkan sel-sel melepaskan enzim proteolitik (pengurai protein)
dan polipeptida yang merangsang ujung saraf yang kemudian menimbulkan impuls
nyeri. Senyawa kimia dalam tubuh yang disebut prostaglandin beraksi membuat
ujung saraf menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri oleh polipeptida ini.
Obat analgetik atau medicine food
tanpa resep umumnya sangat efektif untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang
untuk jenis nyeri somatik pada kulit, otot, lutut, rematik, dan pada jaringan
lunak lainnya, serta pada nyeri haid dan sakit kepala. Tetapi medicine
product ini tidak begitu efektif untuk nyeri viseral.
Ada tiga kelas analgetik tanpa resep yang saat ini tersedia di pasaran,
yaitu: golongan parasetamol, golongan salisilat meliputi
aspirin/asetilsalisilat, atrium salisilat, magnesium salisilat, cholin
salisilat; dan golongan turunan asam propionat seperti ibuprofen, naproxen, dan
ketoprofen. Karena memiliki sifat farmakologis yang mirip, golongan salisilat
dan turunan asam propionat digolongkan sebagai obat anti inflamasi non-steroid
(AINS). Obat-obat organic
ini tersedia dalam berbagai merek, termasuk sebagai obat generik, dan sering
dikombinasikan dengan obat atau bahan tambahan seperti kafein. Obat-obat ini
juga banyak dijumpai dalam komposisi obat-obat batuk, pilek dan flu.
B. Sejarah Parasetamol
Parasetamol
(asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono
2002)
Paracetamol merupakan analgesik-antipiretik dan
anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang memiliki efek analgetik (menghilangkan
rasa nyeri), antipiretik (menurunkan demam), dan anti-inflamasi (mengurangi
proses peradangan). Paracetamol paling aman jika diberikan selama kehamilan.
Parasetamol dalam dosis tinggi dan jangka waktu pemberian yang lama bisa
menyebabkan toksisitas atau keracunan pada ginjal. sehingga dikategorikan
sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan
analgetik ringan. Parasetamol merupakan contoh obat dalam golongan ini.Beberapa
macam merk dagang, contohnya Parasetamol (obat penurun panas atau penghilang
nyeri) bisa diperdagangkan dengan merk Bodrex, Panadol, Paramex.
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin
dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol
(asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai
daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung
(Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak
terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang
melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol
berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri
paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama
dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal,
Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan
iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik
Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping
yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua
tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya
dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi
Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika
diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996)
Pada tahun 1946, Lembaga Studi Analgetik dan obat-obatan sedative
telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji
masalah yang berkaitan dengan agen analgetik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod
telah ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan
adanya methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak
berbahaya.(Yulida.A.N. 2009)
Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan
penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia, dan mendapati pengaruh
analgetik asetanilida adalah disebabkan metabolit Parasetamol aktif. Mereka
membela penggunaan Parasetamol karena memandang bahan kimia ini tidak
mengahasilkan racun asetanilida.(Yulida.A.N. 2009)
Derivat-asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu
banyak digunakan sebagai analgetik, tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari
peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya
analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada umumnya
dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, juga untuk
swamedikasi(pengobatan mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh kafein dengan
kira-kira 50% dan kodein. Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas,
secara rectal lebih lambat. Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi
hipersensitivitas dan kelainan darah. (Yulida.A.N. 2009)
Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia.
Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar
(asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10
jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat menggunakan Parasetamol dengan
aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu. Interaksi pada dosis
tinggi memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak
interaktif.(Tjay, 2002)
C. Struktur
Kimia Parasetamol
|
Asetaminofen (parasetamol) |
|
N-acetyl-para-aminophenol
|
|
151.17
|
|
Rumus
empiris
|
C8H9NO2
|
(Metabolisme)
|
Hati
|
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Aplikasi parasetamol
1.
Sifat Zat
Berkhasiat
Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat
Parasetamol adalah sebagai berikut :
·
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
·
Berat Molekul : 151.16
· Rumus Empiris : C8H9NO2.
2.
Sifat Fisika
·
Pemerian : Serbuk hablur,
putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
·
Kelarutan : larut dalam air
mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam etanol.
· Jarak lebur : Antara 168⁰ dan 172⁰.
3.
Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran
pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh
kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak
berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam
sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi
menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril
dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan
dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)
4.
Farmakodinamik
Efek analgesik
Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
5.
Indikasi
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama
bagi penanganan demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol
digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang.(Cranswick 2000)
6.
Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat
dan penderita hipersensitif terhadap obat ini. (Yulida 2009)
7.
Sediaan dan Posologi
Parasetamol tersedi sebagai obat
tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5ml. Selain
itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet
maupun cairan. Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan
maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum
1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6
kali sehari. .(Mahar Mardjono 1971)
8.
Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivat
para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan
gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa.
Fenasetin dapat menyebabkan anemia
hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi
berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit
yang abnormal.
Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia
jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb
diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar
lajak.
Insidens nefropati analgesik berbanding
lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan
sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada
hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat
Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar
secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.
9.
Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit
Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation membentuk
asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi
pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi
kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut
bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena
itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk
menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga
bersifat nefrotoksik.
10.
Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak
dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak
dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi
nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat fatal. Pada
alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati,
kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit
meningkat.
11.
Penatalaksanaan Toksis
Beberapa tindakan yang dapat
dilakukan sebagai pertolongan pertama saat menemukan korban yang dicurigai
keracunan parasetamol adalah sebagai berikut :
a.
Rangsang muntah (tindakan
ini hanya efektif bila parasetamol baru ditelan atau peristiwa tersebut terjadi
kurang dari 1 jam sebelum diketahui).
b.
Berikan arang aktif dengan
dosis 100 gram dalam 200 ml air untuk orang dewasa dan larutan 1 g/kg bb untuk
anak-anak. Bila kadar serum parasetamol di atas garis toksik (lihat nomogram)
maka N-asetilsistein dapat mulai diberikan dengan loading dose 140mg/kg
BB secara oral, lalu dosis berikutnya 40 mg/kg BB diberikan setiap 4 jam.
Larutkan asetilsistein ke dalam air, jus atau larutan soda. Bila terjadi muntah
spontan, maka pemberian asetilsistein dapat dilakukan melalui sonde lambung (nasogastric
tube) atau berikan metoklopramid pada pasien untuk mengatasi kondisi muntah
tersebut. Terapi asetilsistein paling efektif bila diberikan dalam waktu 8-10
jam pasca penelanan parasetamol. N-asetilsistein harus diberikan secara
hati-hati dengan memperhatikan kontraindikasi dan riwayat alergi pada korban,
terutama riwayat asthma bronkiale.
c.
Anti dotum
1)
N-asetilsistein merupakan
antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol. N-asetil-sistein bekerja
mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan
konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif bila
diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit.
2)
Methionin per oral, suatu
antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan
dengan N asetilsistein.
12.
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan
atas 4 stadium :
a.
Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem
pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering
terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
b.
Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim
pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya
bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa
oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
c. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati,
mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran,
ensefalopati hepatikum.
d.
Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi
jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)
13.
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan :
a. Adanya riwayat penggunaan obat.
b. Uji kualitatif
Sampel diambil
dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian. Caranya : 0,5 ml sampel +
0,5 ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan, tambahkan 1ml larutan
O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan ammonium hidroksida dan
aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji ini sangat
sensitif.
c. Kuantitatif
Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan
dan dapat dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.
d. Pemeriksaan laboratorium:
Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati
dan prothrombintime.
B.
Pasien Care
1. Dosis dan Cara Pemberian Obat
Pemberian dosis Paracetamol disesuaikan menurut usia dan juga berat badan. Cara
pemberian paracetamol pada umumnya diberikan per oral, baik yang berbentuk
sirup maupun tablet.
2. Meningkatkan Efek Terapetik
Untuk meningkatkan efek terapeutik paracetamol, konsumsi paracetamol dengan
mekanisme dan cara pemakaian obat yang benar.
3. Memperkecil Efek yang Tidak Dikehendaki
Menggunakan paracetaml sesuai dosis yang benar dan sesuai dengan usia dan
berat badan.
4. Memperkecil Interaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
Tidak
mengkonsumsi parasetamol secara bersamaan dengan obat lain.
5. Identifikasi Pasien dengan Resiko Tinggi
Parasetamol
tidak dapat digunakan pada pasien yang beresiko tinggi, seperti pasien yang
menderita hipertensi, hipersensitif, tukak lambung dan usus, serta dapat
menyebabkan kerusakan hati dan ginjal pada pemakaian jangka panjang. Agar tidak
menyebabkan toksisitas paracetamol terhadap pasien tersebut dan tidak
memperburuk keadaan pasien.
6. Dapat Menanggulangi Toksisitas Obat
a.
Toksisitas parasetamol dapat dicegah dengan pemberian antidotum (N-Asetilsistein) yang merupakan antidotum terpilih untuk keracunan Parasetamol.
N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis
glutation dan mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein
sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi
metabolit.
b. Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan
murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein.
C.
Pasien Education
Pemberian
informasi kepada pasien berupa:
1. Nama obat dan kategori terapetiknya
Jelaskan
pada pasien bahwa obat yang dikonsumsi adalah Paracetamol dan digunakan untuk
mengurangi rasa nyeri dan untuk menurunkan panas atau suhu tubuh.
2. Besarnya dosis
Umur 3
bulan -1 tahun, mengkonsumsi paracetamo dengan dosis 60-120 mg, 1-5 tahun dosisnya
150-250 mg, 6-12 tahun dosisnya 250-500 mg, dan dewasa dosisnya 500 mg- 1 gr.
Dosis ini boleh diulang 4-6 jam bila diperlukan (maksimum sebanyak 4 dosis
dalam 24 jam).
3. Waktu pemberian obat
Memberitahukan
kepada pasien kapan-kapan saja waktu untuk mengkonsumsi obat tersebut dan
berapa kali obat yang diberikan harus dikonsumsi.
4. Rute dan teknik pemberian obat
Jelaskan
pada pasien bahwa parasetamol diminum secara oral, yaitu bisa dengan cara
diencerkan dengan air susu atau bubur. Dan jelaskan pada pasien bahwa
parasetamol diminum tiga kali sehari.
5. Respons terapetik yang diharapkan dan waktu respons
mulai
Elaskan
pada pasien bahwa setelah meminum parasetamol diharapkan terjadi penurunan
panas pasien dan ambang rasa nyeri berkurang. Waktu respon dimulai jika sudah
mencapai konsentrasi efek kerja obat minimum.
6. Lama obat dapat digunakan dan penyimpanannya
Parasetamol
dapat digunakan selama maksimal 5 hari untuk anak-anak dan untuk dewasa
maksimal selama 10 hari. Dan parasetamol dapat disimpan selama kemasan tidak
terbuka, pada tempat yang kering, dan pada suhu yang tepat (suhu kamar 25-27oC).
Selain itu, tanggal kadaluarsa sangat penting untuk diperhatikan. Beritahu
pasien jika parasetamol telah mencapai tiga bulan sebelum tanggal kadaluarsa,
maka parasetamol sudah tidak layak dikonsumsi, dan beritahu pasien jika
parasetamol telah sampai/melewati tanggal kadaluarsa, maka sebaiknya
parasetamol tidak disimpan.
7. Efek yang tidak didinginkan dan cara menanggulangi
efek tersebut
a. Reaksi alergi, hipertesi, jarang terjadi berupa
eritem, urtikaria, dan lebih berat dapat menyebabkan lesi mukosa. Jika terjadi
hal tersebut, hentikan pemakaian obat dan perbanyak minum air putih.
b. Anemia hemolitik pada pemakaian kronik, terjadinya
karena mekanisme atoimun defisiensi enzim G6PD dan terjadi metabolit- metabolit
yang abnormal.
c. Methemoglobinemia dan sulfohemoglobinemia pada
pemakaian dosis besar.
8. Memperkecil interaksi sesama obat yang tidak
diinginkan
Jelaskan
pada pasien jangan gunakan parasetamol secara bersamaan dengan obat lain.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar