Kondisi
anemia dan Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil mempunyai dampak
kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan, antara lain meningkatkan
risiko bayi dengan berat lahir rendah, keguguran, kelahiran premature dan
kematian pada ibu dan bayi baru lahir. Hasil survey menunjukkan bahwa
prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 51 persen,dan pada
ibu nifas 45 persen. Sedangkan prevalensi wanita usia subur (WUS) menderita KEK
pada tahun 2002 adalah 17,6 persen. Tidak jarang kondisi anemia dan KEK pada
ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya perdarahan, partus lama, aborsi dan
infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu.
Malnutrisi
bukan hanya melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu, tetapi juga mengancam
keselamatan janin. Ibu yang bersikeras hamil dengan status gizi buruk, berisiko
melahirkan bayi berat badan lahir rendah 2-3 kali lebih besar dibandingkan ibu
dengan status gizi baik, disamping kemungkinan bayi mati sebesar 1.5 kali.
Salah
satu cara untuk mengetahui status gizi Wanita Usia Subur (WUS) umur 15-49 tahun
adalah dengan melakukan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA). Hasil pengukuran
ini bisa digunakan sebagai salah satu cara dalam mengidentifikasi seberapa
besar seorang wanita mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR. Indikator
Kurang Energi Kronik (KEK) menggunakan standar LILA <23,5cm. Dari hasil
survei BPS tahun 2000-2005 gambaran risiko KEK yang diukur berdasarkan LILA
menurut kelompok umur menunjukkan bahwa persentase wanita usia subur dengan LILA
< 23.5 cm (berisiko KEK) umur 15-49 tahun rata-rata adalah 15.49.
Penelitian
Saraswati dan Sumarno (1998) menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kadar Hb <10
g/dl mempunyai risiko 2.25 kali lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu hamil dengan kadar Hb di atas 10 g/dl , dimana ibu
hamil yang menderita anemia berat mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR
4.2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tdak anemia berat.
Informasi
yang dikumpulkan oleh Sub Commitee on Nutrition WHO menunjukkan bahwa paling
sedikit satu diantara dua kematian ibu di negara sedang berkembang adalah
akibat anemia gizi besi. Suatu studi di Indonesia pada 12 rumah sakit
pendidikan pada akhir tahun 1970 melaporkan bahwa angka kematian ibu di
kalangan penderita anemia adalah 3.5 kali lebih besar dibandingkan dengan
golongan ibu yang tidak anemia. Apabila kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%,
risiko kematian maternal meningkat sekitar delapan kali lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita tidak anemia.
Disparitas
kematian ibu antar wilayah di Indonesia masih cukup besar dan masih relatif
lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN misalnya
resiko kematian ibu karena melahirkan di Indonesia adalah 1 dari 65,
dibandingkan dengan 1 dari 1.100 di Thailand. Pada tahun 2002 angka kematian
ibu (AKI) di Indonesia angka 307 per 100.000 kelahiran hidup. Dari lima juta
kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu
meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan.
Tingkat
kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3
kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand.
Beberapa penyebab kematian bayi dapat bermula dari masa kehamilan 28 minggu
sampai hari ke-7 setelah persalinan (masa perinatal). Penyebab kematian bayi
yang terbanyak adalah karena pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi
pada janin, kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu
sebesar 38,85%. Sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi adalah
kejadian kurangnya oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan kegagalan
nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah
lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%. Hal ini menunjukkan bahwa 66,82% kematian
perinatal dipengaruhi pada kondisi ibu saat melahirkan. Jika dilihat dari
golongan sebab sakit, kasus obstetri terbanyak pada tahun 2005 adalah
disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya yaitu 56,09%.
Terbebas
dari kelaparan dan malnutrisi sekaligus mendapat nutrisi yang baik adalah hak
asasi manusia. Malnutrisi membuat tubuh lebih rentan terhadap penyakit dan
kematian dini. Dengan kecenderungan seperti ini, pencapaian target MDG untuk
menurunkan AKI dan AKB akan sulit bisa terwujud kecuali apabila dilakukan upaya
yang lebih intensif untuk mempercepat laju penurunannya.
gunakan jasa pembuatan website Jakarta untuk membangun website bisnis Anda
BalasHapus